Memorie
van Overgave adalah
buku yang menjelaskan bahwa penduduk asli Sumbawa atau disebut tau Samawa,
mula- mula adalah penduduk yang berasal dan bermukim di Semenanjung Sanggar,
lereng Gunung Tambora, pada ketinggian kurang lebih 2.850 mdpl. Mereka
berpindah ketempat pemukiman baru di Sumbawa dengan menyusuri dataran rendah
yang saat itu belum digenangi air lautan akibat mencairnya es Kutub Utara dan
Kutub Selatan.
Diperkirakan
pada jaman mencairnya es di kedua kutub bumi yaitu kutub Utara dan Selatan,
mengakibatkan tergenangnya sebagian dataran dan menimbulkan plat atau dangkalan
antara Sumabawa dan Sanggar. Masa akhir jaman es, juga mengakibatkan
tenggelamnya sebagian besar pulau-pulau di Indonesia dan membentuk dangkalan
atau plat. Diantaranya adalah Sunda Plat atau dangkalan Sunda yang terbentang
antara Sumatera, Kalimantan dan Jawa, kemudian Sahul Plat yaitu dangkalan
antara Papua dan Australia bagian Utara, yang tentu saja dapat dibuktikan
dengan berbagai macam kesamaan jenis flora dan fauna.
Penduduk
asli Sumbawa melalui dataran rendah yang belum tergenang air laut itu berpindah
dari Semenanjung Sanggar ketempat pemukimannya yang baru yaitu Sumbawa.
Penduduk Sumbawa yang bermukim lebih awal dan selanjutnya menjadi penduduk asli
kemudian berpindah ke wilayah pedalaman dataran tinggi pegunungan Ropang,
Lunyuk dan bagian selatan Batu Lanteh untuk mencari hunian baru. Dalam buku Memorie
van Overgave tercatat bahwa saat itu Tau Samawa masih menganut
aliran animisme yang cenderung beranggapan bahwa wilayah pegunungan memiliki
kekuatan yang dapat melindungi mereka. Kemudian, kelompok penduduk yang
merupakan kategori pendatang baru, adalah berasal dari Bugis- Makasar,
Banjarmasin dan Jawa masuk setelahnya ke Sumbawa dan mendiami wilayah pesisir.
Kelompok- kelompok penduduk ini selanjutnya menetap untuk seterusnya dan
memiliki hak atas tanah yang telah ditempati sejak lama untuk dimanfaatkan.
Bagian tanah ini dalam istilah adat Sumbawa dikenal dengan sebutan “Lar
Lamat”.
Lar
Lamat adalah tanah tempat tinggal, sawah, ladang dan aliran sungai atau
danau serta tempat mereka dimakamkan jika mereka meninggal dunia. Selanjutnya
untuk mengawasi dan sekaligus menguasai “Lar Lamat”, dipilihlah seorang
penguasa atau pemimpin yang disebut “Nyaka”. Jika ada penduduk berikutnya yang
datang dan ingin bermukim dan mencari nafkah dengan membuka tanah baru disitu,
tanah itu yang disebut “Tana Penyaka”, mereka akan diterima dan mendapat
hak serta kedudukan yang sama dengan syarat mereka harus tetap mematuhi
ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh Nyaka dan berlaku untuk setiap
anggota masyarakat tana penyaka. Kelak, kelompok- kelompok penduduk
inilah yang kemudian berkembang dan memiliki wilayah sendiri, membentuk hukum
sendiri dan sistem pemerintahan sendiri.
Artinya,
Sumbawa adalah bukan daerah pariwisata. Melainkan Kabupaten lestari dengan
sistem mata pencaharian dan sumber penghidupan utama beternak dan bercocok
tanam bagi "Tau Samawa" (Sebutan daerah untuk suku Sumbawa).
Mereka ke sawah dengan menggunakan peralatan
tardisional berupa cangkul atau bingkung, rengala, dan kareng
sebagai peralatan bajak dengan memanfaatkan hewan peliharaan seperti sapi dan
kerbau. Pola bercocok tanam ini mulanya diperkenalkan oleh orang-orang Jawa
Majapahit pada masa kerajaan-kerajaan Hindu Sumbawa. Mekanisasi pertanian
sekarang ini mulai tampak pada masyarakat Sumbawa. Pada sejumlah tempat mulai
terlihat pemanfaatan handtractor dan alat-alat modern lain sebagai
pengganti peran hewan ternak dalam pengolahan lahan-lahan pertanian.
Untuk
menggarap ladangnya atau “merau” cara-cara tradisional masih dipakai hingga
kini yaitu dengan membakar lahan pertanian agar mempermudah proses pengolahan
untuk ditanami beberapa jenis tanaman pangan. Akan tetapi, tidak setiap hari
para petani ini meluangkan waktunya berada di sawah atau ladangnya, hanya
beberapa kali saja dalam seminggu tanaman yang telah ditanam ini mendapatkan
pemeliharaan.
Cara
mendapatkan lahan-lahan pertanian inipun begitu mudah, Tau Samawa dapat
menemukan lahan untuk bertani, berkebun, dan berladang dengan menandai areal
temuannya itu dengan menggantung batu asah atau menanam pohon tertentu seperti
bage (Pohon Asam), ketimus, dan bungur yang sudah sama- sama dikenal dan diakui
secara konvensi sebagai tanda bahwa lahan itu telah menjadi milik seseorang dan
sekaligus untuk menghindari klaim dari orang lain. Konsep ini bagi Tau
Samawa telah dipertegas dalam ungkapan tumpan aeng-aeng tu tumpan nan
tubaeng, artinya orang yang menjumpai ialah yang memiliki. Ungkapan ini
menunjuk pada pemilikan tanah, tempat tinggal atau areal tertentu yang menjadi
miliknya, konsep ini juga berlaku pada pekerjaan mencari kayu hutan dan
nganyang (berburu) lebah madu dengan memberikan tanda silang dengan parang pada
pohon di mana sarang lebah madu itu ada serta mengikatnya dengan lonto (jenis
tumbuhan menjalar). Bagi tau Samawa yang melanggar pantangan ini dan berusaha
mengambil hak orang lain, maka akan menjadi bahan pembicaraan di mana-mana dan
mendapat sanksi adat menjadi tau no kangila atau orang tak tahu malu
yang sangat menampar harga diri Tau Samawa.
Masyarakat
Sumbawa yang tinggal di desa-desa umumnya memiliki tempat khusus untuk
menyimpan hasil penennya dalam sebuah klompo atau lumbung yang dibangun
berdekatan dengan bangunan rumahnya. Bagi Tau Samawa menyimpan hasil
panen adalah penting, mengingat bila saat paceklik tiba, Sumbawa mengalami
kemarau yang cukup panjang. Maka selain menyimpan hasil panen di
lumbung-lumbung, para atau loteng rumah merekapun memiliki tabungan hasil
panen. Sedangkan untuk peralatan pertaninan ditempatkan di bongan atau
kolong yang terdapat pada bagian bawah rumah panggung.
Menjadi
nelayan merupakan pekerjaan pilihan lain bagi Tau Samawa. Peralatan
seperti pancing, kodong dan belat yang berfungsi sebagai
perangkap dimanfaatkan untuk menjebak dan menangkap ikan di sungai ataupun di
rawa-rawa, sedangkan peralatan berupa jaring lebih diutamakan untuk menangkap
ikan di laut.
Pekerjaan
penting lainnya adalah berburu atau nganyang dengan menggunakan
peralatan tear atau tombak dan poke atau tombak bermata dua, lamar
atau jerat, dan dengan memanfaatkan anjing pemburu. Nganyang pada
umumnya merupakan pekerjaan sambilan yang dipilih oleh sebagian Tau Samawa yang
tinggal di sekitar perbukitan, sedangkan pekerjaan utama mereka adalah meramu
hasil- hasil hutan untuk dijadikan bahan makanan seperti umbi-umbian, buyak atau
pucuk-pucuk rotan, serampin atau sari batang enau, madu lebah,
jamur-jamuran, dan akar-akaran sebagai bahan pembuatan minyak tradisional yang
terkenal dengan sebutan Minyak Sumbawa. Konon, proses pembuatan minyak
sumbawa adalah kegiatan turun temurun dan unik. Dimana, "Sandro"
(sebutan untuk tau Samawa yang memiliki kekuatan supranatural), mengaduk
seluruh ramuan minyak dalam belangga dalam kondisi masih mendidih diatas bara
api.
Masyarakat
di luar kepulauan lain mengenal Sumbawa dari hasil ternaknya berupa kuda, sapi,
dan kerbau, namun jarang yang mengetahui bahwa hewan-hewan ternak ini
dipelihara dengan menggunkan sistem pemeliharaan yang unik. Tau Samawa
tidak menambat hewan-hewan ternaknya, hewan-hewan ini dilepas begitu saja di
padang-padang gembala atau lar, sedangkan untuk menjaga tanaman
pertanian mereka dari serangan hewan ternak, para petani Sumbawa berusah
memagari sawah dan ladangnya dengan menanami kayu jawa pada batas lahannya.
Karena itulah Sumbawa terkenal sebagai penghasil ternak kuda, sapi dan kerbau
terbesar dan terbaik di Indonesia, terutama di kalangan pengepul sapi, kuda dan
kerbau yang berdatangan dari berbagai daerah dan mengangkut hasil ternak ini
dengan truk-truk besar. Kapal-kapal pengangkut ternak biasanya disiapkan di
Labuhan Badas Sumbawa, hingga Pelabuhan Sape di Bima jika akan dikirim ke
daerah yang cukup jauh dari Sumbawa. Daerah pembeli ternak ini bahkan datang
dari Toraja. Konon, pasokan kerbau terbesar menuju Sumatera adalah
kerbau-kerbau yang berasal dari Sumbawa.
Pekerjaaan
pedagang adalah pekerjaan masyarakat Sumbawa dari etnis Cina, Arab, dan Jawa.
Sementara pekerjaan menenun adalah pekerjaan turun temurun yang telah dianggap
kuno dan rumit, tergeser diantara kuatnya orientasi status sosial tau Samawa
saat ini yang lebih bangga bekerja sebagai Pegawai Pemerintahan atau PNS
dan Tambang. Karakteristik yang menonjol dari tau Samawa umumnya adalah gemar
berbicara dan mengurus soal- soal politik, menyenangi filsafat dan ilmu-ilmu
kebatinan, kepercayaan yang begitu kuat pada Sandro atau dukun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Boleh Komentar Dengan Santun