Masa Kesultanan
Sumbawa dimulai sejak berakhirnya Dinasti Dewa Awan Kuning yang menganut paham
Animisme. Masuknya Islam ke Sumbawa telah mempercepat dan mengkatalis
terbentuknya kesultanan Sumbawa yang dikenal dengan nama Dinasti Dewa Dalam
Bawa. Sultan yang pertama memimpin Sumbawa adalah Dewa Mas Pamayam (Mas Cini)
1648-1666. Ada tiga “gelar induk” atau Puin Kajuluk yang digunakan
sebagai nama gelar kesultanan Sumbawa :
1.
Sultan Harun Arrasyid
2.
Sultan Jalaluddin, dan
3.
Sultan Kaharuddin.
Perjalanan masa
kesultanan Sumbawa telah melahirkan pemimpin yang menegakkan keadilan dan
kebenaran dengan keberanian yang ikhlas, sehingga lambang Kesultanan Sumbawa
digambarkan dengan macan putih atau sering disebut “Bendera Macan”.
Bendera macan putih merupakan lambang keberanian yang ikhlas dan suci, semangat
ini telah terwarisi kepada seluruh masyarakat Sumbawa, sehingga menjadi
masyarakat yang modern, religius dan demokratis.
Panji atau Bendera LIPAN atau LIPAN
API merupakan Bendera Perang Kesultanan Sumbawa. Bendera ini Selalu dibawa
manakala pasukan Bala Cucuk menunaikan tugas pengamanan wilayah kesultanan dari
ancaman musuh. Dewasa ini Bendera asli disimpan oleh pak Makadia keturunan dari
Panglima Mayo sebagai hadiah dari Sultan Sumbawa karena berhasil sebagai penakluk
perompak dan bajak laut yang mengganggu perairan Sumbawa.
Penobatan
Sultan Sumbawa merupakan penobatan pertama yang dilakukan sejak kesultanan
Sumbawa menjadi bagian NKRI. Penobatan ini menjadi sangat penting dan bermakna
bagi seluruh rakyat atau Tau Tana Samawa yang memegang teguh nilai-nilai budaya
Sumbawa. Penobatan Sultan Sumbawa tidak dihajatkan sebagai Negara Berdaulat,
tetapi akan menjadi pengawal/penjaga pusaka Sumbawa yaitu budaya, adat rapang
tau dan tana samawa yang religius (Adat Barenti Ko Syara, Syara’ Barenti Ko
Kitabullah) yang bermakna bahwa adat istiadat dan budaya Sumbawa
senantiasa berpedoman kepada agama untuk kerik salamat tau ke tana samawa
(keselamatan masyarakat dan alam Sumbawa). Wilayah kesultanan adat Sumbawa
adalah kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat (Kamutar Telu).
Sumbawa dalam sejarah masa lalu merupakan wilayah yang
dipimpin oleh Sultan. Pengaruh kerajaan ini hingga ke Goa, Sulawesi Selatan
melalui penaklukkan kerajaan Goa dalam sayembara menendang bola besi dengan peserta
seluruh Kerajaan di Nusantara pada saat itu.
Sejarah
Sumbawa mencatat bahwa dominasi Sultan Sumbawa yang keturunan Bugis-Makasar
digantikan oleh sultan dari keturunan raja Banjar. Permulaan keturunan raja
Banjar menjadi sultan Sumbawa yaitu, Gusti Mesir Abdurrahman yang bergelar
Sultan Muhammad Jalaluddin Syah II (1762-1765). Beliau diangkat menjadi sultan
kedelapan Sumbawa karena beliau telah memperistrikan cucunda dari Sultan
Jalaluddin Muhammad Syah I (1702-1723), Datu Bonto Raja.
Kerajaan Sumbawa juga memayungi Selaparang (Pulau Lombok,
sekarang), merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Sumbawa yang disebut dalam
istilah "Kemutar empat". Bukti
sejarah, sebagian penduduk di Lombok Timur, Mataram merupakan keturunan dari
Sumbawa yang ikut dalam pembebasan Selaparang pada masa itu. Sejarah masa
lalu tersebut telah berlalu. Seiring dengan berdirinya negara Kesatuan Republik
Indonesia, maka Kesultanan Sumbawa masuk dalam wilayah Sunda Kecil dan pada
akhirnya Sumbawa juga menjadi bagian dari provinsi Nusa Tenggara Barat yang
beribukota di Mataram.
Setelah Indonesia merdeka, Sumbawa masa kini meninggalkan
bekas ketangguhan, kemurahan, solidaritas bahkan toleransi. Keterbukaan adalah
jati diri masyarakat Sumbawa yang tidak mengenal istilah nepotisme bahkan dalam
kompetisi keseharian, masyarakat terbiasa dengan kompetisi sehat. Karakter
tersebut menempatkan integritas kepribadian yang bertanggung jawab atas
perbuatannya.
Sejarah mencatat, berbagai daerah tertarik mendiami
Kesultanan Sumbawa, seperti dari kerajaan Sriwijaya Palembang, kini disebut
Pelampang (berasal dari kata Palembang). Banjar berasal dari Kalimantan,
Selayar dari Sulawesi, Mantar dari bangsa Portugal, Jawa dari Jawa. Semua warna
tersebut bercampur menjadi satu kesatuan bagaikan pelangi yang senantiasa
membawa kebahagiaan dan kedamaian di Tana Samawa (Tanah Sumbawa).
Sumbawa yang sangat terbuka dan penuh toleransi merupakan
daerah yang nilai-nilainya dibangun atas dasar nilai moral. Semua orang yang
hidup di Tana Samawa merupakan orang yang sanggup menjunjung tinggi moral
diatas segala kepentingan. Tak pelak ketika pelanggaran moral terjadi, dimana
negara tidak lagi hadir maka hukum setempat akan mengeksekusi.
Tindakan demikian merupakan bentuk dari tuntutan
keseimbangan; peran, pelayanan, persamaan derajat dan kesempatan dalam
memelihara keseimbangan Sumbawa secara menyeluruh. Kesempatan merupakan
landasan menuju penyatuan dan partisipasi aktif dalam memelihara Tana Samawa.
Perilaku kompetitif, tidak menempatkan masyarakat Sumbawa menduduki peluang
dalam perekrutan setiap kebutuhan negara.
B.
Sultan Muh.
Jallaluddin III
Kebaradaan Tana Samawa atau Kabupaten Sumbawa, mulai dicatat oleh
sejarah sejak Zaman Dinasti Dewa Awan Kuning, tetapi tidak banyak sumber
tertulis yang bisa dijadikan bahan acuan untuk mengungkapkan situasi dan
kondisi pada waktu itu. Sebagaimana masyarakat di daerah lain, sebagian rakyat
Sumbawa masih menganut animisme dan sebagian sudah menganut agama Hindu.
Baru pada kekuasaan raja terakhir dari dinasti Awan Kuning, yaitu
Dewa Maja Purwa, ditemukan catatan tentang kegiatan kerajaan, antara lain bahwa
Dewa Maja Purwa telah menandatangani perjanjian dengan Kerajaan Goa di
Sulawesi. Perjanjian itu baru sebatas perdagangan antara kedua kerajaan
kemudian ditingkatkan lagi dengan perjanjian saling menjaga keamanan dan
ketertiban. Kerajaan Goa yang pengaruhnya lebih besar saat itu menjadi
pelindung kerajaan Samawa’.
Setelah Dewa Maja Purwa wafat ia digantikan oleh Mas Goa, yang
masih menganut ajaran Hindu. Ia dianggap telah melanggar salah satu perjanjian
damai dengan kerajaan Goa, maka resikonya ia terpaksa disingkirkan bersama
pengikut-pengikutnya kesebuah hutan, kira-kira di wilayah Kecamatan Utan
sekarang. Pengusiran Mas Goa dan pengikutnya ke wilayah Utan lebih arif disebut
kudeta di zaman sekarang. Ia serta merta diturunkan dari tahtanya karena
mangkir dari kesepakatan pendahulunya dengan Kerajaan Goa. Tidak disebutkan apa
pelanggaran yang telah dilakukan Mas Goa, namun campur tangan Raja Goa di
Sulawesi sangat besar.
Pemberhentian secara paksa ini terjadi pada tahun 1673 M sekaligus
mengakhiri pengaruh Dinasti Dewa Awan Kuning di Sumbawa. Tahun berikutnya 1674
M Dinasti baru terbentuk dan diberi nama Dinasti Dewa Dalam Bawa’. Saat itu
Tana’ Samawa, rakyat Sumbawa sudah mulai memeluk Agama Islam. Dinasti Dewa
Dalam Bawa’ ini berkuasa hingga tahun 1958.
Luas wilayah kekuasaannya dimulai dari wilayah taklukan Kerajaan
Empang hingga Jereweh. Raja pertama dari Dinasti Dalam Bawa ini adalah Sultan
Harunurrasyid I (1674 – 1702). Ia kemudian diganti oleh putranya Pangeran Mas
Madina bergelar Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I yang menikah dengan Putri
Raja Sidenreng Sulawesi Selatan yang bernama I Rakia Karaeng Agang Jene.
Setelah wafat, Jalaluddin Syah I ini kemudian diganti oleh Dewa Loka Lengit
Ling Sampar kemudian oleh Dewa Ling Gunung Setia. Tidak banyak bahan sejarah
yang dapat mengungkapkan berapa lama keduanya memerintah, tapi diperkirakan
selama 10 tahun.
Ada fakta yang menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Datu Gunung
Setia, kerajaan Sumbawa termasuk “Bala Balong” lenyap dilalap si jago merah
pada tanggal 26 Ramadhan 1145 Hijriah (1732 M).
Pada tahun 1733 Kerajaan Sumbawa kembali dipegang oleh keponakan
Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I, bernama Muhammad Kaharuddin I (1733-1758).
Ketika ia meninggal, kekuasaan diambil alih istrinya I Sugiratu Karaeng
Bontoparang, yang bergelar Sultan Siti Aisyah. Raja wanita ini dikenal sering
berselisih paham dengan pembantu raja, sehingga pada tahun 1761 ia diturunkan
dari tahta dan digantikan oleh Lalu Mustanderman Datu Bajing, namun ia menolak,
dan menyarankan untuk mengangkat adiknya yaitu Lalu Onye Datu Ungkap Sermin
(1761-1762).
Wilayah Kesultanan/kerajaan Sumbawa ini pada
masa pra-Majapahit menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sasak Samawa yang
berpusat di Lombok, kemudian ditaklukkan oleh Majapahit dengan pusat pengaruh
di Taliwang dan Seran, sedangkan masa Islam adalah masa penaklukkan Kerajaan
Gowa-Sulawesi terhadap semua wilayah Sumbawa dan Selaparang-Lombok dengan pusat
pemerintahan mula-mula di Lombok kemudian dipindahkan ke Sumbawa besar akibat
ancaman pencaplokkan Kerajaan Gelgel-Bali. Setelah masuknya VOC (Verenigde
Oost Indische Compagnie) Kesultanan Sumbawa menjadi bagian wilayah Gubernemen
Selebes, dan sesuai pembagian wilayah afdeeling maka Sumbawa masuk
wilayah Karesidenan Timor dengan ibukota di Sumbawa Besar.
C.
Pengislaman Kesultanan Sumbawa
Sejarah pengislaman Kerajaan Sumbawa dimulai dari masuknya Kerajaan
Gowa ke Sumbawa yang datang melalui penaklukkan sekitar tahun 1618 s/d 1623.
Sejarah ini memiliki kisah tersendiri yang menarik untuk di telusuri, karena
masuknya Gowa semakin memberikan ruang bagi berkembangnya Islam secara lebih
merata ke seluruh pelosok negeri.
Sebelum terjadinya penaklukkan, antara Sumbawa dengan Gowa telah
terjalin hubungan yang erat melalui komunikasi yang terjadi antara peduduk di
kedua wilayah. Sumbawa dimanfaatkan oleh para pedagang Gowa sebagai salah satu
jalur penting perdagangan, begitu pula sebaliknya. Jarak yang dekat antara
Sulawesi dengan Sumbawa membuat perahu-perahu phinisi Gowa hampir setiap hari
hilir mudik dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. Daya tarik terbesar
Sumbawa saat itu adalah kayu sepang dan kuda. Sedangkan di kalangan para
bangsawan Gowa, Sumbawa telah lama di kenal sebagai daerah yang kaya dengan
binatang buruan, sehingga pada waktu-waktu tertentu banyak diantara mereka yang
datang untuk berburu kijang atau rusa.
Melalui mereka inilah informasi tentang kondisi Sumbawa diketahui
oleh Raja Gowa XIV yang saat itu sedang gencar-gencarnya memperkenalkan Islam
kepada kerajaan-kerajaan tetangganya. Proses pengislaman ini ada yang dilakukan
melalui loby-loby politik namun kebanyakan dilakukan melalui peperangan.
Setelah berhasil menaklukkan sebagian besar kerajaan yang ada di
Sulawesi, Gowa pun kemudian melirik Pulau Sumbawa dan pulau-pulau kecil
disekitarnya, sehingga pada tahun 1616, berangkat pasukan besar dari Gowa yang
di pimpin oleh Panglima Angkatan Perang Kerajaan Gowa yaitu Lo’mo Mandalle.
Pasukan ini pertama kali mendarat di Bima dan berhasil menaklukkan
sekaligus mengislamkan wilayah Bima, Sanggar, Tambora dan Dompu. Dua tahun
kemudian yaitu pada tahun 1618, di bawah pimpinan Keraeng Moroanging yang
menggantikan posisi Lo’mo Mandalle sebagai Panglima Angkatan Perang, pasukan
ini bergerak menuju Taliwang. Daerah inipun berhasil dikuasai termasuk
kerajaan-kerajaan sekitarnya yaitu Seran, Jereweh dan Utan Kadali. Selang
beberapa bulan kemudian satu demi satu kerajaan-kerajaan lainnya berhasil
ditaklukkan termasuk Kerajaan Ngali, dan pada puncaknya adalah penaklukkan
Kerajaan Samawa Puin.
Pengislaman yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa meskipun hanya
dikhususkan pada kerabat kerajaan, adalah tonggak awal dari semakin meluasnya
penyebaran Islam di Sumbawa. Dalam sejarah penyebaran Islam, ketika puncak
kekuasaan sudah dikuasai, maka tinggal menunggu waktu untuk daerah-daerah yang
berada di bawah kekuasaannya.
Kisah lengkap tentang sejarah pengislaman Kerajaan Sumbawa oleh Kerajaan Gowa
terdapat dalam Buku Sumbawa Pada Masa Dulu karangan Lalu Manca yang dikutip
dari Piagam perjanjian damai antara Kerajaan Sumbawa yang diwakili oleh Raja
Dewa Maja Paruwa dengan Kerajaan Gowa, yaitu:
”Haadza Kalaamulqaati’ yang termaktub dalam buk perjanjian Tanah
Gowa dengan Tanah Sumbawa pada Perang Sariyu dengan Suruh Kari Takwa. Telah
berkata Kari Takwa, ”Adat kamu dan rapang kamu tiada dibinasakan dan tiada kami
rusakkan. Adapun aku meneguh juga kepadamu, tetapi jangan kamu lupakan mengucap
Asyhaduanlaailaahaillallah wa Asyhaduanna Muhammadurrasulullah, dan iman kamu
jangan tiada meneguh Agama Islam.
Demikian pesan Raja Gowa Tuminang Riagamana dengan Raja Gowa pada Raja
Sumbawa dan Tanah Sumbawa tiada kami binasakan adatmu dan rapangmu”. Pada masa
itu, ada ketika Menteri Tetelu dan Ranga Kiku’ memegang negeri Sumbawa, dan
Nene Kalibelah dan Nene Jurupalasan. Memanca Lima dan Lelurah Pitu dan segala
orang-orang besar-besar adalah hadir menghadap Raja Sumbawa. Demikianlah
adanya. Hijratunnabi SAW 1032 H (1623 M)”.
Setelah Islam menjadi agama resmi kerajaan, utusanpun kemudian
dikirim oleh Dewa Maja Paruwa ke seluruh daerah yang telah dikuasai untuk
melakukan proses pengislaman secara menyeluruh. Kepergian para utusan tersebut
ada yang disertai dengan mubalig namun ada pula yang hanya sebatas memberikan
pengumuman kepada masyarakat tentang munculnya Agama Islam dan kewajiban bagi
masyarakat untuk memeluknya. Kepergian mereka juga disertai dengan undangan
terbuka kepada pimpinan masing-masing daerah baik raja, datu maupun kepala suku
untuk menghadiri rapat akbar di Istana Kerajaan
Dalam waktu yang tidak
terlalu lama, Islampun mulai tersebar luas di kalangan masyarakat dan terutama
di kalangan bangsawan kerajaan. Raja-raja Hindu yang kemudian memeluk agama
Islam adalah Raja Kerajaan Taliwang (Dewa Langit Ling Kertasari), Raja Kerajaan
Utan Kadali (Dewa Langit Ling Baremang dan Dewa Langit Ling Utan), Raja
Kerajaan Seran, Raja Kerajaan Tangko Empang, dan seterusnya.
Dalam proses pengislaman yang dilakukan oleh pihak kerajaan,
terdapat kisah yang menarik untuk diikuti. Sebagian besar utusan yang dikirim
telah mengetahui kalau seandainya Islam bukanlah agama yang asing bagi
daerah-daerah yang akan mereka kunjungi. Agama ini telah menarik minat dan
simpati masyarakat terutama rakyat kecil yang merasa derajatnya terangkat.
Dalam ”buk” desa Tepal dijelaskan bahwa utusan kerajaan yang dikirim ke desa
itu bernama Syekh Salahuddin. Ketika pertama kali menginjakkan kakinya ke desa
ini, ulama ini merasa heran dan takjub dengan kehidupan masyarakat pada saat
itu yang rata-rata telah mengenal Islam, sehingga beliaupun kemudian mengambil
keputusan untuk tinggal di tempat itu bahkan sampai akhir hayatnya.
Setelah era Dewa Maja Paruwa, Sumbawa masuk pada era baru yaitu
berkuasanya trah Makasar dan Banjar dengan raja pertamanya yaitu Dewa Mas
Pamayam41 (1648-1668). Raja ini diangkat oleh Gowa sebagai Gubernur Muda dan
berkedudukan di bagian barat Sumbawa, yaitu Kerajaan Utan Kadali.
Pada masa pemerintahan Dewa Mas Gowa ini, Islam masih dalam tahap
transisi awal yang merupakan masa yang sangat rentan bagi penyebaran Agama
Islam, bahkan pada masa ini Dewa Mas Gowa diturunkan secara paksa oleh para
pembesarnya karena masih mempertahankan style Hindu.
Proses pengislaman ini berlangsung selama 27 tahun, hal ini
diketahui dengan munculnya pernyataan Sultan Hasanuddin pada tahun 1750, bahwa
antara Makasar dan Sumbawa telah dipersatukan dan seluruh masyarakat Sumbawa
telah beragama Islam.
Dinasti Dewa Dalam Bawa merupakan dinasti yang didirikan oleh keturunan
langsung Sayyid Syamsuddin al-Aydrus yaitu Dewa Mas Bantan atau yang lebih di
kenal dengan Sultan Harunnurasyid I (1675 s/d 1702). Dinasti ini merupakan
dinasti pertama sekaligus terakhir yang pernah berkuasa pada masa kesultanan
Sumbawa.
Sebagai Raja Sumbawa, Dewa Mas Bantan memiliki tugas berat dalam
membangun pondasi Islam yang kuat di Sumbawa. Dalam masa pemerintahannya selama
27 tahun, Dewa Mas Bantan membangun Islam pada masa Islam baru mulai belajar
merangkak. Sultan ini tidak mewarisi satupun hal yang positif dalam hal
pengembangan Islam dari raja sebelumnya yaitu Dewa Mas Gowa. Namun secara
perlahan tapi pasti, Dewa Mas Bantan Baru pada masa Dewa Mas Madina (1702-1723),
wajah Islam mulai berubah secara drastis. Sultan ini melakukan perubahan secara
besar-besaran yang ditandai dengan dibentuknya Majelis Islam yang
anggota-anggotanya terdiri dari para ulama, sekaligus diterapkannya hukum adat
dan hukum kitab berdasarkan adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan
kitabullah.
D.
Nama-nama Raja Sumbawa
Dari beberapa sumber diketahui ada sebanyak 17 raja yang pernah
memerintah di Sumbawa dalam kurun waktu dari tahun 1674-1958 M.
1.
Sultan
Hasanurrasyid I 1674-1702 M
2.
Sultan
Muhammad Jalaluddin I 1702-1723 M
3.
Datu
Bala Sawo 1723-1725 M
4.
Datu
Gunung Setia 1725-1732 M
5.
Sultan
Muhammad Kaharuddin I 1732-1758 M
6.
Sultan
Siti Aisyah 1759-1760 M
7.
Datu
Ungkap Sermin 1761-1762 M
8.
Sultan
Muhammad Jalaludddin II 1762-1765 M
9.
Dewa
Mepaconga Mustafa 1765-1776 M
10.
Sultan
Harunurrasyid II 1776-1790 M
11.
Sultan
Shafiyatuddin 1791-1795 M
12.
Sultan
Muhammaad Kaharuddin II 1795-1816 M
13.
Nene
Ranga Mele Manyurang 1816-1825 M
14.
Mele
Abdullah 1825-1836 M
15.
Sultan
Amrullah II 1836-1882 M
16.
Sultan
Muhammad Jalaluddin III 1882-1931 M
17.
Sultan
Muhammad Kaharuddin III 1931-1958 M
E.
Sistem Kepercayaan
Bukti-bukti arkeologis yang diketemukan di
wilayah Sumbawa, berupa sarkofagus, nakara, dan menhir
mengindikasikan bahwa tau Samawa purba telah memiliki kepercayaan dan
bentuk-bentuk ritual penyembahan kepada arwah nenek moyang mereka.
Konsep-konsep tentang kosmologi dan perlunya menjaga keseimbangan antara
dirinya dengan makrokosmos terus diwariskan lintas generasi hingga masuknya kebudayaan
Hindu-Budha, bahkan paradaban Islam di Sumbawa kini.
Diperkirakan agama Hindu-Budha telah
berkembang pesat di kerajaan-kerajaan kecil Sumbawa sekitar dua ratus tahun
sebelum invasi Kerajaan Majapahit ke wilayah Sumbawa ini. Beberapa kerajaan itu
antara lain: Kerajaan Dewa Mas Kuning di Selesek (Ropang), Kerajaan Airenung
(Moyo Hulu), Kerajaan Awan Kuning di Sampar Semulan (Moyo Hulu), Kerajaan
Gunung Setia (Sumbawa), Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan), Kerajaan Seran
(Seteluk), Kerajaan Taliwang, dan Kerajaan Jereweh.
Menurut Zolinger, agama Islam masuk ke Pulau
Sumbawa lebih dahulu dari pada Pulau Lombok antara tahun 1450–1540 yang dibawa
oleh para pedagang Islam dari Jawa dan Melayu, khususnya Palembang. Selanjutnya
runtuhnya Kerajaan Majapahit telah mengakibatkan kerajaan-kerajaan kecil di
wilayah Sumbawa menjadi kerajaan-kerajaan yang merdeka. Kondisi ini justru
memudahkan bagi proses pengenalan ajaran Islam oleh para mubaligh tersebut,
kemudian pada tahun-tahun awal di abad ke-16 Sunan Prapen yang merupakan
keturunan Sunan Giri dari Jawa datang ke Sumbawa untuk menyebarkan Islam pada
kerajaan-kerajaan Hindu di Sumbawa, dan terakhir penaklukan Karaeng Moroangang
dari Gowa-Sulawesi tahun 1618 atas Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan) sebagai
kerajaan terakhir yang bersedia masuk Islam sehingga menghasilkan sumpah “adat
dan rapang Samawa (contoh-contoh kebaikan) tidak akan diganggu
gugat sepanjang raja dan rakyatnya menjalankan syariat Islam” yang merujuk pada
konsepsi adat bersendikan syarak, dan syarak berazazkan kitabullah.
F.
Peninggalan Kejayaan Kesultanan Sumbawa
Berdiri kokoh di tengah Kota Sumbawa Besar,
Nusa Tenggara Barat, Istana Dalam loka merupakan saksi sejarah yang
memperlihatkan kejayaan Kesultanan Sumbawa pada zamannya. Dibangun pada tahun 1885,
pembangunan bangunan yang berarti istana tua ini diprakarsai Sultan Muhammad
Jalaluddin Syah III yang menjadi Sultan ke-16 dari Dinasti Dewa Dalam Bawa.
Berbentuk rumah panggung dengan luas bangunan
904 M2, Istana Dalam Loka terlihat sangat megah. Istana yang dibangun dengan
bahan kayu ini memiliki filosofi “adat berenti ko syara, syara barenti ko
kitabullah”, yang berarti semua aturan adat istiadat maupun
nilai-nilai dalam sendi kehidupan tau Samawa (masyarakat Sumbawa) harus
bersemangatkan pada syariat Islam.
Lambang keislaman juga dapat dilihat pada kayu
penyangga yang berjumlah 99 yang bila diartikan mempunyai kesamaan dengan sifat
ALLAH SWT (Asma'ul
Husna).
Bangunan utama bala rea yang dibangun dengan
kayu jati merupakan pengganti kediaman raja yang dulu pernah terbakar saat
terjadi letusan bubuk mesiu kerajaan. Dibangun
dengan sistem baji, bangunan ini memiliki tingkat kelenturan yang tinggi apabila
terjadi gempa bumi.
Pemilihan selatan sebagai arah hadap rumah pun memiliki makna
tersendiri. Berdasar hukum arah mata angin, selatan dipercaya dapat memberikan
suasana sejuk, tenteram, damai, dan nyaman. Tidak hanya itu, selatan pun
bermakna menatap pada masa lalu yang bila diartikan pemimpin harus memiliki
kebijaksanaan dan kearifan dalam menyikapi masa lalu yang bisa dibawa ke masa
kini.
Awalnya, Istana Dalam Loka berfungsi sebagai kediaman raja. Fungsi
itu berubah sejak dibangunnya istana baru pada tahun 1932. Kini, Dalam Loka
berfungsi menjadi cagar budaya yang mengingatkan jika dahulu pernah berdiri
Kesultanan Sumbawa yang pernah berjaya pada zamannya